Buku Thinking Fast and Slow

Thinking, Fast and Slow, Cara Berpikir Ala Orang Sukses

Saya harus 2 kali bolak-balik meminjam di perpustakaan kota untuk meminjam buku ini. Karena Buku ini juga cukup tebal sekitar 600-an halaman.

Dan masih belum ketemu bagaimana caranya menyederhanakannya ke dalam sebuah catatan untuk dituangkan ke dalam blog ini, karena beberapa topik harus saya baca kembali lagi agar lebih mudah dimengerti.

Sehingga kalau kesannya di artikel ini seperti sebuah catatan tanpa proses suntingan berarti, harap mohon maklum :D.

Ok kita lanjut.


Menurut Daniel Kahneman, setiap orang memiliki dua jenis cara berpikir:

  1. Sistem pertama adalah pemikiran spontan, otomatis, dan tanpa banyak rencana.
  2. Sistem kedua adalah pemikiran yang lebih terencana dan penuh pertimbangan.

Kedua sistem ini mempengaruhi cara kita menilai, mengambil keputusan, hingga bertindak dalam berbagai situasi.

Sistem pertama seperti reaksi instan. Sebagai contoh, bayangkan kamu sedang berjalan di trotoar, tiba-tiba ada motor yang lewat dengan kecepatan tinggi dan mengeluarkan suara klakson yang keras. Secara refleks, tubuhmu langsung menepi atau melihat ke arah motor itu. Ini terjadi tanpa kamu sadari, dan lebih ke insting. Sistem ini adalah bagian dari naluri manusia untuk menjaga diri, hasil dari ribuan tahun evolusi kehidupan.

Sistem kedua berbeda. Sistem ini adalah pikiran yang lebih fokus dan terarah, yang kita gunakan untuk hal-hal yang memerlukan pertimbangan lebih dalam. Misalnya, kamu sedang belanja di pasar tradisional dengan uang pas-pasan. Kamu harus memutuskan apa saja yang perlu dibeli, apakah beras, sayur, atau lauk pauk. Otakmu mulai menghitung-hitung anggaran, mempertimbangkan prioritas, dan memikirkan manfaat dari setiap pilihan. Ini adalah contoh bagaimana sistem kedua bekerja: memfokuskan perhatian, mempertimbangkan pilihan, dan membuat keputusan dengan sadar.

Sistem pertama membuat kita responsif terhadap dunia di sekitar, sedangkan sistem kedua membantu kita berpikir lebih matang. Keduanya sama-sama penting dan saling melengkapi dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi isi buku ini nantinya akan membahas bagaimana sebenarnya otak kita bekerja dengan kedua sistem ini di berbagai kondisi, akan saya bahas satu persatu dan sampai tuntas di paragraf berikutnya. 

Disclaimer : Artikel yang ada di blog ini mengambil intisari dari buku Thinking, Fast and Slow karya Daniel Kahneman. Saya sarankan untuk membeli bukunya agar mendapat POV dari sisi anda sendiri.


Dapatkan Buru Originalnya Disini :


Kemalasan Bisa Menyesatkan dan Mempengaruhi Cara Kita Berpikir

Bayangkan ini: 

Kamu sedang naik motor di jalan raya. Tiba-tiba, ada mobil di depan yang berhenti mendadak tanpa menyalakan lampu sein. Pikiran pertama yang muncul mungkin, “Sopirnya pasti ugal-ugalan!” Ini adalah reaksi cepat dari pikiran instingtif, yang disebut sebagai sistem pertama. Pikiran ini bekerja seperti autopilot, reaktif dan cepat, tetapi seringkali hanya berdasarkan asumsi.

Tapi, coba dipikir ulang. Bagaimana kalau ternyata ada anak kecil yang tiba-tiba menyeberang jalan, sehingga si sopir harus mengerem mendadak? Atau mungkin mobilnya sedang bermasalah? Kalau kita memberi waktu untuk berpikir lebih panjang, kita akan memanfaatkan sistem kedua, pemikiran yang lebih rasional dan penuh pertimbangan.

Kejadian seperti ini sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Entah saat menilai orang lain, membuat keputusan di tempat kerja, atau bahkan sekadar membaca berita di media sosial. Ketika kita hanya mengandalkan sistem pertama, hasilnya bisa jadi penuh kesalahpahaman. Sebaliknya sistem kedua, meskipun butuh lebih banyak energi, membantu kita melihat gambaran yang lebih utuh.

Namun, banyak dari kita sering “malas” mengaktifkan sistem kedua. Alasannya sederhana: otak cenderung mencari jalan pintas untuk menghemat energi. Memikirkan sesuatu secara mendalam memang melelahkan, tapi inilah kunci dari kecerdasan kita. Dengan melatih sistem kedua, misalnya melalui kebiasaan berpikir ulang, memverifikasi informasi, atau sekedar bertanya “Apakah ada kemungkinan lain?” kita bisa menjadi lebih cerdas dan bijak dalam membuat keputusan.

Jadi, mulai sekarang, mari lawan kemalasan mental kita. Jangan langsung percaya pada kesan pertama. Ambil waktu sejenak untuk berpikir lebih dalam. Ini bukan hanya soal menjadi lebih cerdas, tapi juga lebih manusiawi.

Kita Tidak Selalu Mengendalikan Pikiran dan Tindakan Secara Sadar

Apa yang terlintas di pikiranmu saat melihat potongan kata “K A _ _ _ _”? Mungkin tidak langsung ada yang muncul. Namun, jika sebelumnya kamu berpikir tentang “kerja” kamu mungkin melengkapinya menjadi “kantor.”

Proses ini disebut priming. Priming terjadi ketika kita terpapar oleh kata, konsep, atau situasi tertentu yang mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak. Misalnya, jika kamu baru saja melihat kata “sekolah,” kamu mungkin melengkapinya menjadi “kantin”

Priming ini tidak hanya mempengaruhi cara kita berpikir, tetapi juga mempengaruhi tindakan kita. Orang yang melihat kata-kata yang berhubungan dengan “olahraga” atau “fitness” cenderung merasa terdorong untuk berolahraga, bahkan tanpa merencanakannya. Ini terjadi secara otomatis, tanpa kita sadari.

Contohnya, dalam penelitian oleh Kathleen Vohs, ditemukan bahwa orang yang terpapar kata-kata yang berhubungan dengan “uang” lebih cenderung bertindak lebih individualistis, seperti lebih fokus pada kebutuhan pribadi dan kurang peduli dengan orang lain.

Priming ini memperlihatkan bagaimana masyarakat yang terus-menerus terpapar konsep uang dan kesuksesan bisa mempengaruhi pola pikir kita, sehingga membuat kita lebih fokus pada diri sendiri dan mengabaikan kepentingan bersama.

Apa yang menarik adalah kita tidak selalu sepenuhnya mengendalikan apa yang kita pikirkan atau lakukan. Bahkan situasi yang tampaknya sederhana, seperti iklan atau percakapan ringan, bisa mempengaruhi keputusan kita tanpa kita sadari. 

Maka dari itu para advertiser di media sosial selalu berusaha membekali diri dengan Ilmu Copywriting untuk menghipnotis kita untuk mencapai tujuan mereka. Entah untuk menarik perhatian, menyampaikan pesan, ataupun secara tidak sadar membuat kita membeli produknya. Tugas kita adalah menyadari itu dan menggunakan sistem kedua untuk melakukan tindakan selanjutnya. 

Bagaimana Otak Membuat Pilihan Secara Spontan Meski Kekurangan Informasi untuk Memberikan Keputusan Rasional

Bayangkan kamu sedang berada di sebuah acara pernikahan dan bertemu seseorang bernama Rudi, yang tampaknya sangat humoris dan ramah. Kalian ngobrol santai mengalir begitu saja, dan kamu merasa nyaman di dekatnya. Rudi saat itu memberikan kesan yang dalam. 

Beberapa saat kemudian, ada seseorang yang bertanya apakah kamu tahu siapa yang bisa mengisi acara stand-up comedy untuk sebuah event yang akan mereka selenggarakan. Tanpa pikir panjang, kamu langsung teringat Rudi, meskipun kamu hanya tahu bahwa dia orangnya gampang diajak ngobrol dan selalu membuat orang tertawa.

Dengan kata lain, karena kamu merasa Rudi orang yang menyenangkan dan humoris, kamu mengasumsikan bahwa dia pasti juga cocok untuk mengisi acara stand-up comedy, meskipun kamu sebenarnya tidak tahu apakah dia memang punya pengalaman atau kemampuan dalam bidang itu. Ini adalah contoh dari “halo effect,” di mana perasaan positif terhadap satu sisi kepribadian seseorang, dalam hal ini, sifat humoris dan ramah, membuat kita memberikan penilaian positif pada aspek lainnya, meskipun kita tidak tahu banyak tentangnya.

Fenomena ini tidak hanya terjadi pada orang lain, tetapi juga pada diri kita sendiri. Misalnya, kamu memiliki teman satu kantor bernama Siti, yang dikenal sangat rajin dan teliti. Suatu hari, kamu melihat Siti mengajak teman-temannya makan malam di luar. Karena kamu sudah terkesan dengan dedikasinya di kantor, kamu cenderung menganggap bahwa dia pasti juga cermat dalam memilih tempat makan yang enak dan berkualitas. Padahal, kamu tidak pernah tahu apakah dia punya minat yang sama dalam kuliner atau apakah dia benar-benar punya selera yang sama dengan kamu.

Saya beri contoh lagi, Misalnya kamu sudah mendengar dari seorang teman bahwa Andi itu orangnya pemalu dan jarang bicara. Lalu, ketika kamu bertemu Andi, kamu lebih fokus melihat tanda-tanda yang membuat kamu percaya dia memang pemalu, seperti dia yang lebih banyak diam. Padahal, bisa jadi Andi cuma sedang merasa lelah atau tidak nyaman dengan situasi itu, tapi kamu cenderung mengabaikan hal itu dan tetap berpegang pada keyakinan bahwa dia pemalu. Ini adalah contoh confirmation bias, di mana kita cenderung mencari dan menerima informasi yang sesuai dengan apa yang sudah kita percayai sebelumnya.

Kedua fenomena ini baik halo effect atau confirmation bias menunjukkan bagaimana pikiran kita seringkali mengambil jalan pintas dalam menilai orang lain berdasarkan informasi yang terbatas (sistem pertama). Terkadang kita terlalu cepat mengambil kesimpulan atau menerima begitu saja informasi yang sudah kita percayai sebelumnya, tanpa menyadari bahwa ini bisa menyebabkan penilaian yang keliru.

Bagaimana Otak Menggunakan Jalan Pintas untuk Mengambil Keputusan Sehari-hari?

Pernah nggak, keadaan dimana kamu pada momen tertentu harus cepat ambil keputusan? Misalnya, saat memilih makanan di warung atau menjawab pertanyaan secara spontan? Nah, otak kita punya cara gampang untuk membantu, namanya heuristik. Ini semacam jalan pintas biar kita nggak ribet mikir. Tapi, kalau dipakai di waktu yang salah, bisa-bisa malah bikin kita salah ambil keputusan.

Saya beri contoh dua jenis heuristik yang sering kita alami :

1. Substitution Heuristic

Ketika di sekolah, kamu ditanya, “Menurutmu, orang ini cocok jadi ketua kelas nggak?” Bukannya mikir dari prestasi atau kemampuan dia, kamu malah mikir, “Hmm, dari penampilannya sih dia cocok jadi pemimpin, soalnya badannya tegap dan tinggi” padahal bisa jadi dia tidak terbiasa bicara di depan orang banyak, gagap dalam berkomunikasi, dan tidak punya pengalaman di organisasi. 

Contoh lain, pas milih menu makanan di warung, kamu lihat foto di buku menu. Karena tampilannya cantik, kamu langsung berpikir makanannya enak. Padahal belum tentu! Bisa saja rasanya biasa-biasa saja. 

2. Availability Heuristic

Ini terjadi kalau kita percaya sama sesuatu hanya karena sering dengar atau gampang diingat. Misalnya, kamu mau liburan naik pesawat. Terus ada yang bilang, “Pesawat itu rawan kecelakaan!” Kamu jadi takut.

Padahal, berita kecelakaan pesawat itu sering viral karena jarang terjadi, makanya terlihat heboh. Bandingkan sama kecelakaan motor atau mobil yang sebenarnya jauh lebih sering, tapi jarang jadi berita besar.

Jadi, Gimana?

Heuristik itu tidak selalu buruk, tapi kita tetap perlu hati-hati. Jangan langsung percaya sama kesan pertama atau hal yang sering kita dengar. Kadang, keputusan yang baik butuh mikir lebih dalam, bukan asal cepat aja.

Bayangin seperti main catur. Kalau terlalu cepat melangkah tanpa mikir strategi, bisa kalah duluan, kan? Sama saja dengan kalau mau keputusan yang tepat, ambillah waktu buat berpikir!

Kenapa Kita Sulit Memahami Statistik dan Sering Salah Prediksi

Seringkali kita salah menebak atau salah ambil keputusan gara-gara tidak benar-benar mengerti data atau angka. Misalnya, kita yakin banget sesuatu bakal terjadi, padahal kenyataannya nggak begitu. Nah, salah satu trik untuk bikin prediksi yang lebih akurat adalah dengan memperhatikan base rate.

Base rate itu ibarat data dasar atau gambaran awal dari situasi tertentu. Contohnya, kamu sedang menunggu angkot di terminal. Dari 10 angkot yang biasanya lewat, 7 angkot jurusan A dan 3 angkot jurusan B. Artinya, peluang kamu melihat angkot jurusan A lebih besar, yaitu 70%, dibandingkan angkot jurusan B yang cuma 30%. Jadi, kalau mau menebak angkot mana yang bakal muncul, ingat-ingat kembali teori base rate ini.

Tapi kenyataannya, kita sering lupa base rate ini. Contoh: setelah melihat 5 angkot jurusan A lewat berturut-turut, kamu mungkin mulai berpikir, “Wah, pasti setelah ini angkot jurusan B yang lewat nih, biar adil.” Padahal, peluang angkot berikutnya tetap sama: 70% untuk jurusan A dan 30% untuk jurusan B. Nggak ada hubungannya dengan apa yang sudah lewat sebelumnya.

Kenapa bisa salah? Karena kita sering lebih fokus ke apa yang kita harap bakal terjadi daripada apa yang sebenarnya mungkin terjadi. Harapan kitalah yang membuat bias ini, sehingga kita melupakan data awalnya.

Lalu ada juga konsep yang namanya kembali ke rata-rata. Semua situasi itu, pada akhirnya, akan cenderung balik ke rata-rata. Contohnya, ada siswa yang biasanya dapat nilai ulangan 70. Tapi suatu hari dia dapat nilai 90. Guru dan orang tuanya mungkin berharap dia terus dapat nilai setinggi itu. Tapi kalau bulan-bulan berikutnya dia balik lagi ke nilai 70-an, itu bukan karena dia menurun, tapi karena dia balik ke kemampuan rata-ratanya.

Sama halnya seperti pemain bulutangkis yang biasanya juara di turnamen lokal. Suatu saat dia menang besar di turnamen internasional. Ekspektasi tinggi muncul, tapi ketika dia kalah di turnamen berikutnya, orang-orang kecewa. Padahal, itu bukan berarti dia jadi buruk, melainkan performanya hanya kembali ke rata-rata.Intinya, memahami angka dan data itu penting banget. Dengan begitu, kita bisa bikin keputusan yang lebih rasional, nggak hanya berdasarkan harapan atau feeling semata. Intinya, belajar lebih peka sama data!

Kenapa Kita Sering Mengingat Masa Lalu dengan Cara yang “Berbeda”?

Pernah nggak, kamu merasa ingatanmu tentang suatu kejadian itu beda banget sama apa yang kamu rasakan waktu kejadian itu terjadi? Ternyata, otak kita punya dua cara untuk mengingat:

  1. Diri yang mengalami: Ini yang merasakan langsung kejadian. Misalnya, waktu kamu menunggu bakso, yang kamu rasakan adalah lapar dan kesal karena lama banget.
  2. Diri yang mengingat: Ini yang ingat keseluruhan kejadian setelahnya. Jadi, dia lebih fokus ke kenangan seperti betapa enaknya bakso itu atau suasana yang nyaman di warung.

Tapi, biasanya, yang lebih dominan itu diri yang mengingat, dan ini bisa bikin ingatan kita nggak selalu akurat. Ada dua alasan kenapa ini bisa terjadi:

  • Kita sering lupa berapa lama kejadian berlangsung (duration neglect): Yang lebih diingat cuma momen-momen penting, bukan berapa lama kita menunggu.
  • Kita lebih ingat bagian paling seru dan akhir (peak-end rule): Biasanya kita lebih ingat bagian paling seru atau yang terakhir dari suatu kejadian.

Contoh Sehari-hari
Misalnya, kamu pergi ke taman hiburan. Sepanjang hari, kamu antre lama, capek, dan panas. Tapi, di akhir, kamu naik wahana seru dan makan es krim enak. Ketika cerita ke teman, yang kamu ingat cuma wahana seru dan es krimnya, bukan capeknya antre.

Pelajaran yang Bisa Diambil
Kadang ingatan kita nggak selalu sesuai dengan apa yang kita rasakan waktu itu. Tapi itu nggak masalah. Ingatan kita bisa jadi hal positif karena kita lebih fokus ke kenangan baik daripada yang buruk. Namun, kita tetap harus ingat kalau pengalaman kita sebenarnya lebih kompleks, jadi jangan terlalu bergantung pada kenangan.

Apa yang bisa kita pelajari?

  1. Ingatan itu tidak selalu akurat: Jadi, jangan terlalu memikirkan masa lalu, karena bisa jadi ingatan kita nggak sepenuhnya benar.
  2. Nikmati prosesnya: Fokus pada apa yang kamu rasakan saat itu, bukan cuma pada hasil akhirnya.
  3. Gunakan kenangan untuk positif: Kalau ingatan tentang hal buruk jadi terasa lebih baik, pakai itu untuk tetap semangat di masa depan.

Pikiran dan Perilaku: Mengelola Energi Pikiran untuk Hasil yang Lebih Baik

Pernahkah kamu merasa semuanya terasa mudah saat belajar sesuatu yang sudah familiar, tapi tiba-tiba jadi rumit ketika menghadapi hal baru? Itu terjadi karena pikiran kita punya dua mode kerja: kemudahan kognitif (cognitive ease) dan ketegangan kognitif (cognitive strain). Mari kita bahas lebih santai dengan contoh sehari-hari.

Mode Kemudahan Kognitif: Saat Semua Mengalir Lancar

Bayangkan kamu mendengarkan lagu favorit di Spotify. Rasanya santai, kan? Pikiranmu berada di mode kemudahan kognitif. Di sini, sistem intuitif (sering disebut sistem pertama) mengambil alih. Kamu jadi lebih kreatif, cepat mengambil keputusan, dan mungkin lebih bahagia. Tapi hati-hati, mode ini membuat kita lebih gampang bikin kesalahan. Contohnya, ketika membaca judul berita yang menarik di media sosial, kita cenderung percaya begitu saja tanpa memeriksa kebenarannya.

Mode Ketegangan Kognitif: Saat Fokus Maksimal Dibutuhkan

Sekarang bayangkan kamu lagi belajar sesuatu yang benar-benar baru, misalnya menghitung pajak penghasilan atau membaca dokumen hukum yang berbahasa formal. Pikiranmu langsung tegang, bukan? Nah, di sinilah sistem kedua bekerja. Sistem ini membutuhkan lebih banyak energi tapi membuatmu lebih teliti. Mode ini cocok untuk tugas-tugas yang memerlukan analisis mendalam, seperti memahami laporan keuangan atau mempersiapkan bahan presentasi penting.

Bagaimana Menggunakan Kedua Metode Ini untuk mendapatkan manfaat yang kita inginkan?

Pikiran kita sebenarnya bisa diarahkan agar masuk ke mode yang sesuai dengan kebutuhan. Misalnya:

  1. Meningkatkan Persuasif dengan Kemudahan Kognitif
    Kalau kamu sedang ingin meyakinkan temanmu untuk mencoba tempat makan baru, gunakan cara yang akrab dan mudah diingat. Contohnya, tunjukkan foto makanan enak yang sering muncul di media sosial atau ceritakan pengalaman seru orang lain. Pesan yang familiar dan berulang akan terasa lebih meyakinkan.
  2. Meningkatkan Fokus dengan Ketegangan Kognitif
    Sebaliknya, untuk tugas serius, buat kondisi yang memaksa otakmu untuk bekerja lebih keras. Contohnya, coba belajar di tempat yang tidak terlalu nyaman atau menggunakan tulisan tangan untuk mencatat sesuatu yang rumit. Dengan begitu, kamu mendorong pikiranmu bekerja lebih teliti.

Kesimpulan

Kedua mode ini seperti dua sisi koin. Mode kemudahan kognitif cocok untuk aktivitas santai atau kreatif, sedangkan mode ketegangan kognitif pas untuk pekerjaan yang membutuhkan ketelitian. Triknya adalah mengenali kapan harus menggunakan masing-masing mode. Jadi, saat berikutnya kamu merasa malas berpikir keras, ingat bahwa terkadang sedikit tekanan justru membawa hasil terbaik!

Cara Penyajian Informasi Mempengaruhi Penilaian Kita

Pernah nggak sih, kamu merasa cara kita menilai sesuatu ternyata sangat dipengaruhi oleh bagaimana informasi itu disampaikan? Sedikit perubahan dalam cara sebuah pernyataan atau pertanyaan disusun bisa mengubah total cara kita memandangnya. Hal ini terutama berlaku saat kita berbicara soal risiko.

Contohnya begini, bayangkan kamu sedang memilih apakah akan membeli sebuah motor baru. Penjual bilang, “Motor ini hanya punya kemungkinan 1% mengalami kerusakan dalam 5 tahun pertama.” Tapi kalau dia bilang, “Dari 100 motor seperti ini, satu di antaranya pasti mengalami kerusakan,” kamu mungkin jadi lebih ragu. Padahal, angka probabilitas nya sama!

Fenomena ini juga pernah diuji dalam sebuah eksperimen psikologi. Ada seorang pasien yang kita sebut saja sebagai Pak Budi, sedang dipertimbangkan untuk keluar dari rumah sakit jiwa. Kelompok pertama diberi tahu bahwa pasien seperti Pak Budi punya peluang 10% untuk melakukan kekerasan setelah keluar. Kelompok kedua diberi tahu bahwa dari setiap 100 pasien seperti Pak Budi, 10 orang diperkirakan akan melakukan kekerasan. Apa hasilnya? Kelompok kedua lebih banyak yang merasa Pak Budi nggak aman untuk dilepas! Padahal, angka risikonya sama persis.

Fenomena ini juga sering terjadi dalam keseharian kita, terutama ketika kita terpengaruh oleh apa yang disebut denominator neglect. Ini terjadi ketika kita lebih fokus pada gambaran yang emosional ketimbang statistik yang sebenarnya lebih relevan.

Bayangkan ini: ada vaksin baru yang melindungi dari penyakit berbahaya. Dokter bilang, “Vaksin ini punya risiko 0,001% menyebabkan efek samping serius.” Kamu mungkin berpikir, “Ah, kecil banget risikonya, nggak masalah.” Tapi kalau dokter bilang, “Satu dari 100.000 anak yang menerima vaksin ini bisa mengalami efek samping serius,” tiba-tiba bayangan anak yang sakit muncul di kepala, dan kamu jadi ragu.

Fenomena ini sebenarnya sering kita temui, misalnya ketika memilih asuransi, mendengar berita bencana, atau bahkan saat berbelanja. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk berhenti sejenak, mencoba mencerna angka dan fakta dengan kepala dingin, dan tidak langsung terpengaruh oleh cara penyajiannya.

Mengapa Kita Tidak Selalu Memilih Secara Rasional?

Pernah nggak kamu bertanya-tanya, kenapa kita kadang mengambil keputusan yang terasa nggak masuk akal? Misalnya, memilih makan di tempat mahal yang rasanya biasa aja, hanya karena tempatnya Instagrammable? Ternyata, itu terjadi karena kita bukan robot yang hanya mengandalkan logika semata.

1. Teori Rasional vs. Realitas Kehidupan

Menurut teori utilitas, manusia seharusnya selalu membuat keputusan yang paling menguntungkan. Kalau kamu lebih suka es teh dibanding kopi, maka diskon besar untuk kopi nggak akan menggoyahkan pilihanmu.

  • Pandangan Econs: Teori ini dianggap benar oleh ekonom seperti Milton Friedman dari Chicago School of Economics. Dalam pandangan ini, manusia disebut sebagai econs, yang berarti selalu bertindak rasional berdasarkan kebutuhan logis.

Tapi kenyataannya, hidup nggak sesederhana itu.

2. Contoh Nyata: Budi vs. Ani

Bayangkan dua orang berikut:

  • Budi: Awalnya punya tabungan Rp100 juta, berhasil melipatgandakan hingga Rp500 juta.
  • Ani: Awalnya punya Rp900 juta, tapi kehilangan banyak hingga tersisa Rp500 juta.

Secara logika, keduanya punya jumlah uang yang sama. Tapi apakah mereka merasakan kebahagiaan yang sama? Kemungkinan besar tidak.

  • Budi merasa puas karena sukses meningkatkan tabungannya.
  • Ani merasa kecewa karena kehilangan sebagian besar kekayaannya.

Hal ini menunjukkan bahwa keputusan dan emosi manusia dipengaruhi oleh persepsi dan pengalaman sebelumnya, bukan sekadar angka di atas kertas.

3. Mengapa Kita Tidak Selalu Rasional?

Keputusan kita seringkali terpengaruh oleh:

  1. Emosi: Kecewa, bahagia, takut, dan harapan sangat memengaruhi pilihan kita.
  2. Konteks: Cerita di balik angka, seperti perjalanan Budi dan Ani, membuat kita memandang situasi secara berbeda.
  3. Pengalaman: Masa lalu membentuk bagaimana kita bereaksi terhadap situasi sekarang.

Sebagai contoh:

  • Kamu mungkin tetap membeli kopi mahal karena suasananya membuat kamu merasa lebih tenang atau lebih produktif, meskipun itu “tidak logis.”
  • Saat memilih investasi, kamu cenderung menghindari risiko karena pernah mengalami kerugian besar, meskipun potensi untungnya besar.

4. Jadi, Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Kita bukan robot, dan itu wajar. Keputusan yang kita buat seringkali melibatkan emosi, pengalaman, dan persepsi. Tapi jangan terlalu keras pada diri sendiri. Yang penting adalah memahami mengapa kita mengambil keputusan tertentu.

Di balik setiap pilihan, selalu ada cerita unik yang menjadikan kita manusia. Dan itulah yang membuat hidup jauh lebih berwarna.

Mengapa Kita Sering Mengutamakan Emosi daripada Logika dalam Mengambil Keputusan

Pernah nggak, kamu bingung saat harus mengambil keputusan? Misalnya, beli barang diskon sekarang atau menabung untuk kebutuhan mendesak? Meskipun kita tahu logikanya harus nabung, sering kali perasaan “sayang banget kalau diskon ini kelewat” membuat kita langsung checkout tanpa pikir panjang.

Nah, ini yang dibahas dalam teori prospek. Teori ini menjelaskan bahwa kita nggak selalu bertindak rasional, terutama saat dihadapkan pada keuntungan dan kerugian. Mari kita lihat contoh yang lebih relatable.

Bayangkan dua situasi ini:

  1. Kamu dapat bonus Rp1.000.000 dari kantor. Lalu, kamu harus memilih antara terima tambahan Rp500.000 pasti, atau ikut undian 50% peluang dapat Rp1.000.000 lagi.
  2. Kamu punya uang Rp2.000.000, tapi harus pilih: kehilangan Rp500.000 pasti atau ikut undian dengan risiko 50% kehilangan Rp1.000.000.

Logikanya, keputusan di kedua situasi ini sama saja. Tapi kenyataannya? Kebanyakan orang lebih suka ambil yang pasti di situasi pertama, tapi malah pilih ambil risiko di situasi kedua.

Kenapa Bisa Begitu?
Menurut teori prospek, ada dua alasan utama:

  1. Titik Referensi Berbeda
    Cara kita melihat uang itu tergantung dari “titik awal”. Di situasi pertama, uang bonus Rp1.000.000 terasa seperti tambahan rezeki, jadi kalau dapat Rp1.500.000, kita merasa menang. Tapi di situasi kedua, uang awal Rp2.000.000 itu sudah dianggap “punya kita”, jadi kalau sisa Rp1.500.000, rasanya kayak rugi besar, padahal nilainya sama.

Coba deh, bayangin ini: Kamu belanja di pasar. Kalau dompet kamu ada Rp50.000 dan hilang Rp10.000, rasanya berat banget. Tapi kalau kamu bawa Rp500.000 dan hilang Rp10.000, ya udah, masih lebih tenang, kan?

  1. Sensitivitas Menurun
    Nilai uang yang hilang atau didapat nggak selalu kita rasakan secara proporsional. Misalnya, dapat cashback Rp10.000 waktu belanja Rp50.000 terasa besar, tapi kalau belanja Rp5.000.000, cashback segitu rasanya biasa aja.

Contoh lain, bayangin kamu lagi naik motor dan nemu parkiran murah Rp2.000. Wah, seneng banget, karena biasanya bayar Rp5.000. Tapi kalau kamu makan di restoran mahal, bayar parkir Rp10.000 nggak terlalu dipikirin, karena udah “nyatu” sama biaya makan yang tinggi.

Jadi, saat kamu menghadapi keputusan yang bikin bimbang, coba ambil jeda dan pikirkan: apakah kamu sedang dipengaruhi emosi? Kadang, dengan menyadari pola ini, kita bisa lebih bijak dalam menentukan pilihan.

Mengapa Pikiran Kita Sering Terjebak dalam Keyakinan yang Salah

Pernah nggak, kita merasa yakin banget sama sesuatu, tapi ternyata hasilnya nggak seperti yang kita bayangkan? Ini terjadi karena otak kita punya kebiasaan membangun gambaran lengkap untuk menjelaskan dunia. Misalnya, kalau kita mendengar kata “musim hujan,” yang langsung muncul di pikiran kita mungkin gambaran tentang langit mendung, suara rintik hujan, dan angin dingin.

Gambaran-gambaran ini sebenarnya membantu kita memahami situasi. Contohnya, kalau mau pergi di musim hujan, kita otomatis berpikir untuk membawa jas hujan atau payung karena itulah “gambarannya.” Tapi, masalahnya, gambaran ini sering bikin kita terlalu percaya diri dan malah keliru.

Misalnya, ramalan cuaca bilang hari ini cerah, tapi karena “musim hujan” sudah terlanjur tertanam di kepala, kita tetap nekat bawa payung kemana-mana. Atau sebaliknya, merasa yakin nggak hujan dan lupa bawa jas hujan, eh ternyata kena hujan deras di jalan. Akibatnya, kita basah kuyup dan akhirnya belajar dengan cara yang nggak enak.

Bagaimana Mengatasi Kepercayaan Berlebihan pada perasaan

Supaya nggak terjebak dalam keyakinan yang salah, kita bisa mencoba beberapa langkah:

  1. Gunakan Pengalaman Sebelumnya
    Daripada asal tebak berdasarkan asumsi, coba lihat pengalaman sebelumnya. Contoh, kalau kamu ingat minggu lalu waktu langit mendung ternyata tetap nggak hujan, kamu jadi bisa lebih bijak memutuskan apakah bawa payung atau nggak.
  2. Siapkan Rencana Cadangan
    Kadang lebih baik mengambil langkah aman. Contohnya, meskipun yakin nggak hujan, nggak ada salahnya bawa payung kecil di tas sebagai antisipasi. Ini mirip seperti orang tua kita yang selalu bilang, “Sedia payung sebelum hujan.”
  3. Andalkan Fakta, Bukan Perasaan
    Daripada hanya mengandalkan perasaan, coba periksa data nyata seperti aplikasi cuaca. Kalau aplikasi bilang kemungkinan hujan 80%, meskipun langit terlihat cerah, lebih baik percaya pada data tersebut.

Dengan cara ini, kita bisa mengurangi kesalahan akibat kepercayaan diri berlebihan pada gambaran yang belum tentu benar. Sama seperti pelajaran hidup lainnya, selalu lebih baik berhati-hati daripada menyesal.

Kesimpulan Akhir

Baru saja kita membahas buku Thinking, Fast and Slow karya Daniel Kahneman. Inti dari buku ini adalah bahwa otak kita memiliki dua cara kerja. Yang pertama, seperti “autopilot,” bekerja cepat tanpa perlu banyak berpikir. Yang kedua, seperti rem tangan, lebih lambat dan penuh pertimbangan.

Contohnya dalam kehidupan sehari-hari, saat kita menyebrang jalan tanpa pikir panjang karena sudah terbiasa, itu kerja si Sistem 1. Tapi, saat kita menghitung uang kembalian di warung untuk memastikan tidak salah hitung, itu tugas si Sistem 2.

Apa yang kita pikirkan dan lakukan sehari-hari, ternyata sangat dipengaruhi oleh siapa yang “mengemudikan” otak kita saat itu si cepat (sistem 1) atau si hati-hati (sistem 2).


Dapatkan Buru Originalnya Disini :


Merasa terbantu dengan artikel ini dan ingin beri saya apresiasi ?

Kamu bisa traktir saya disini : teer.id/anggawahyudi 🙂


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *