Jika dipikirkan kembali, Saat saya berumur 20 an awal, saya adalah pribadi yang meledak-ledak. Apalagi jika berhubungan dengan pekerjaan yang berkaitan dengan janji yang telah dibuat, pekerjaan yang sudah dijadwalkan, atau tenggat waktu yang harus sesuai.
Bukan karena gampang tersulut emosi atau temperamental, tapi entah mengapa jika itu terkait dengan pekerjaan, saya menjadi terlalu keras dan tidak kompromi. Semuanya harus perfect, dan harus sesuai jadwal.
Jika saya yang melanggar, perasaan merasa bersalah akan hinggap di kepala selama berhari-hari, meskipun sudah minta maaf ke partner. Sebaliknya, jika orang lain yang melanggar dan alasan sudah diberikan namun masih kurang masuk akal di pikiran. Saya juga akan dongkol berhari-hari.
Di umur 30an seperti sekarang, saya sudah bisa “berkompromi”. Lebih pengertian, dan gampang sekali move-on jika ada sesuatu yang terjadi di luar kendali.
Yah ngapain saya harus memikirkan yang terlanjur sudah terjadi, lebih baik energi yang ada, digunakan untuk memperbaiki dan mengerjakan hal yang lain.
Saya terpacu oleh kata-kata umar bin khattab yaitu : “Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.” dan ini selaras dengan prinsip stoisisme.
Ternyata tanpa sadar di umur 30 an ini, saya mulai menerapkan stoisisme di dalam hidup. Lalu bertemu dengan sebuah buku yang berjudul Filosofi Teras, yang ketika menulis artikel ini, baru saja saya selesai membacanya.
Dan menurut saya buku ini selaras dengan apa yang sedang saya terapkan saat ini.
Berikut pembahasan isi buku Filosofi Teras yang dikawinkan dengan pengalaman yang saya sudah dapatkan melalui diri sendiri dan orang lain.
Dapatkan Buru Originalnya Disini :
Apa itu Stoisisme dan Dikotomi Kendali
Yang saya pahami, Stoisisme adalah filosofi yang mengajarkan pengendalian diri dan menerima kenyataan hidup dengan lebih tenang. Namun secara umum mengajarkan kita untuk fokus dengan apa yang bisa kita kendalikan, dan menerima dengan tenang dengan apa yang tidak kita bisa kendalikan.
Contohnya ketika ikut lomba olimpiade sains, kita sudah merasa mempersiapkan diri dengan matang, latihan soal sebanyak mungkin, melakukan riset yang sangat mendalam, melakukan simulasi lomba berulang-ulang kali, ini adalah yang bisa kita kendalikan karena berasal dari diri sendiri.
Sedangkan hasil menang-kalahnya kita di lomba, bukan dalam kendali kita. Maka kita tidak perlu kecewa dan seharusnya bangga kepada diri sendiri, karena sudah berusaha maksimal untuk berusaha memenangkan lomba itu.
Dari sini kita seharusnya bisa menyadari. Kita memang tidak punya kendali atas seberapa besar cintanya pasangan ke kita, berhasil tidaknya hasil investasi yang sudah kita lakukan, atau apa yang kelak dipilih anak untuk jurusan kuliahnya.
Tugas kita hanya melakukan yang terbaik agar keinginan kita tercapai, dan menerima apapun hasilnya dengan tenang.
Mengendalikan Cara Kita Melihat atau Merasakan Sesuatu
Sebutlah Hasan baru saja menjalin hubungan dengan Dini. Di kencan pertama Hasan mengajak Dini makan malam. Seperti biasa, makan malam pertama adalah waktunya penjajakan dan penilaian awal bagaimana hubungan mereka nanti selanjutnya.
Di tengah serunya obrolan, Dini secara tidak sengaja menyebut nama mantannya yang bernama Agus. Bagaimana seharusnya respon Hasan ?
Apakah marah-marah? Apakah memikirkan hubungan berakhir saja? Atau langsung saja pergi meninggalkan Dini?
Nah, jika menerapkan stoisisme maka ada opsi yang bisa dilakukan Hasan :
- Mungkin saja Dini belum bisa move on dari masa lalunya. Bagaimanapun, sebelum ada Hasan, Agus pernah mengisi hati Dini. Namanya manusia biasa pasti butuh waktu, tinggal bicarakan baik-baik ke Dini.
- Bisa jadi ini merupakan pembuktian, apakah Hasan bisa memaafkan dan menerima Dini apa adanya.
- Anggap saja ini ujian, namanya hubungan antar manusia, pasti akan ada pasang-surut juga ada duka-bahagia.
Atau contoh lain,
Suatu hari Teja membuat konten bertemakan kebebasan finansial. Setelah menuliskan pengalamannya selama ini, membaca puluhan artikel dan beberapa buku, merekam video dan melakukan editing, akhirnya dia upload video itu di youtube. Target dari Teja paling tidak mendapatkan 5000 penonton.
Hasilnya cukup memuaskan, hanya dalam seminggu saja video tentang kebebasan finansial menembus 10,000 penonton. Sudah melewati target!!!
Sekitar 2 minggu kemudian, betapa kagetnya Teja, ketika melihat Video tentang kebebasan finansial tapi sudah ditonton lebih dari 1 juta penonton. Apalagi isi videonya sama persis dengan apa yang dia tulis dari awal sampai akhir, hanya dirubah tampilan editing saja.
Lalu, bagaimana seharusnya reaksi Teja? Marah-marah dan frustasi? Menyerah dan tidak mau membuat konten lagi?
Kalau saya di posisi Teja, langkah yang saya lakukan (ada dalam kendali saya) adalah :
- Ambil nafas dulu, rileks, dan biarkan amarah reda dulu
- Meminta klarifikasi ke sang plagiat apakah benar meniru konten saya? sambil memberikan link konten yang saya rasa isinya sama dengan konten dia.
- Belajar dari akun si plagiator, bagaimana strateginya kok bisa konten menjiplak lebih banyak ditonton daripada konten original?
Kalaupun pada akhirnya si plagiat tidak mengaku, dan merasa bersikeras bahwa konten dia original, itu sudah diluar kendali kita. Biarkan hati nuraninya bicara, dan biar Netizen yang menilai :D.
Bila harus ada tindakan hukum, pikirkan kembali, berapa biaya dan waktu yang terbuang?. Kalaupun menang apakah hasilnya sepadan?
Apa yang dirasakan oleh Hasan dan Teja, dilema yang sama juga pernah dialami oleh hampir semua manusia di bumi ini. Perbedaannya adalah bagaimana menyikapinya.
Daripada stress dan overthinking terus menerus, lebih baik energi yang ada dipergunakan untuk move on dan melakukan kegiatan lain.
Maka dari itu buku Filosofi Teras mengajarkan konsep STAR (Stop, Think, Asses & Respond). Sebelum bertindak atau merespon suatu masalah yang kita hadapi.
Konsep STAR Ini sendiri cukup dalam, jika tertarik lebih dengan stoisisme saya sarankan baca bukunya. Tapi konsep itu saya ceritakan sedikit di penanganan masalah Hasan dan Teja tadi.
Memperkokoh Mental
Katakanlah Triadi seorang Marketing akan melakukan presentasi penting untuk klien besar bernama pak Eko. Jika presentasi ini berhasil dan terjadi deal, bonus yang Triadi terima mencapai 10x gaji.
Tentu saja mempersiapkan slide yang terbaik, riset tentang pak Eko dan perusahaanya, dan memastikan kondisi kesehatannya tetap prima sampai waktu presentasi nanti ada dalam kendali Triadi.
Tapi dia juga sadar, berhasil atau tidaknya presentasi bukan di dalam kendalinya, yang harus dia lakukan adalah semaksimal mungkin melakukan yang terbaik agar presentasi berhasil.
Sekilas, apa yang Triadi lakukan mirip seperti yang saya lakukan ketika menghadapi simulasi masalah yang dialami Hasan dan Teja tadi. Namun ada tambahan step yang perlu dilakukan, yaitu memperkokoh mental.
Triadi juga perlu membayangkan ketika presentasinya gagal. Bonus terancam gagal diterima, dan promosi jabatan dari perusahaan pun mungkin akan tertunda.
Semua ini perlu disimulasikan dalam pikiran. Sehingga nantinya jika benar terjadi kegagalan, dia sudah tidak terkejut lagi, dan bisa mengambil langkah rasional untuk menghadapinya.
Langkah yang diambil Triadi sesuai dengan stoisisme di bagian memperkokoh mental.
Saya menyimpulkan tujuannya adalah :
- Bisa bersikap rasional.
- Jika kejadian buruk terjadi kita tidak akan benar-benar terkejut lagi.
- Lebih santai menyikapi kegagalan.
- Marah tidak akan menghasilkan apa-apa
Hidup dengan Kompromi
Kita semua tahu manusia adalah makhluk sosial, artinya kita hampir tidak bisa hidup dengan normal tanpa bantuan dan interaksi dengan manusia lainnya. Yang berarti ada hal-hal yang harus kita bisa kompromikan. Dan diantara mereka pasti ada yang perilakunya menyebalkan.
Namun sebagai orang yang mempelajari dan menerapkan Stoisisme mungkin ini langkah-langkah yang dapat diambil :
- Tidak gampang tersinggung atas perilaku orang lain, kalau sampai tersinggung berarti itu salah kita sendiri
- Bisa jadi perilaku menyebalkan oleh orang lain dikarenakan ketidaktahuan dia, bukan di sengaja, tugas kita untuk memberitahu dia dan ajak dialog jika tindakannya sudah sangat keterlaluan. .
- Kalau memang orang tersebut memang selalu menyebalkan, tidak bisa diberitahu, dan susah diajak dialog, baiknya dihindari saja, minimalkan interaksi dengan dia. Karena waktu kita terlalu berharga untuk meladeni orang toxic.
Kesimpulan
Fokuslah apa yang bisa kita kendalikan dan menerima dengan tenang terhadap apa yang kita tidak bisa kendalikan. Merupakan narasi utama dari buku Filosofi Teras yang selaras dengan prinsip stoisisme.
Bukannya pasrah dengan keadaan, tapi lebih kepada kita seharusnya bisa lebih tenang dalam menghadapi suatu peristiwa. Tidak terburu-buru mengikuti emosi sesaat yang akan kita sesali di kemudian hari.
Menurut saya, buku ini layak dikoleksi dan sewaktu-waktu bisa dibaca kembali karena isinya sendiri tidak termakan zaman dan relate ke siapa saja, cocok juga dijadikan hadiah ke siapa saja yang sekiranya suka overthinking.
Apalagi masih banyak isi dari buku ini yang belum saya bahas seperti bahasan Tentang Kematian dan Citizen Of The World.
Kalau ada yang pengen di obrolin soal stoisisme, atau isi buku filosofi teras, saya tunggu komentarnya di bawah.
Merasa terbantu dengan artikel ini dan ingin beri saya apresiasi ?
Kamu bisa traktir saya disini : teer.id/anggawahyudi 😀
Leave a Reply to Soyang-ri Book's Kitchen – anggaw.com Cancel reply